Sungguh sangat memprihatinkan perasaan kita sebagai bangsa menyaksikan berbagai peristiwa yang menyebabkan rakyat semakin menderita. Kasus lumpur Lapindo yang telah berlangsung selama 1 tahun misalnya, telah mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan banyak di antara mereka yang menderita gangguan jiwa karena tidak tahan terhadap kondisi dan situasi yang terjadi.
Demikian pula sebagian dari mereka pernah melakukan mogok makan, hanya karena mereka tidak mendapatkan jatah makan yang layak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pihak terkait. Beberapa kali pula kita melihat mereka berbondong-bondong, dengan ongkos sendiri, mengadukan nasib mereka ke Jakarta untuk bertemu dengan pemerintah. Meskipun mereka telah mendapatkan janji yang menggembirakan, tetapi realisasi dari janji itu masih sangat memprihatinkan.
Kasus lain yang juga mengundang perhatian adalah kasus Meruya selatan yang terjadi beberapa waktu lalu. Meskipun eksekusi tidak jadi dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, namun penduduk yang sudah puluhan tahun tinggal di situ, merasa khawatir karena pihak Mahkamah Agung memenangkan pihak Portanigra yang merasa tanah-tanah tersebut adalah milik mereka. Yang memprihatinkan, baik masyarakat maupun pihak Portanigra sama-sama merasa memiliki sertifikat asli tanah tersebut. Kita khawatir kasus semacam ini akan terjadi pula di tempat lain. Masyarakat resah, gelisah, merasa tidak terlindungi, dan tidak percaya terhadap dokumen negara yang dikeluarkan oleh lembaga resmi.
Berita terakhir yang juga sangat memprihatinkan adalah sengketa tanah di Pasuruan antara TNI AL dengan masyarakat. Sengketa yang telah berlangsung puluhan tahun ini, telah menimbulkan korban jiwa di kalangan masyarakat banyak. 13 anggota Marinir diduga telah melakukan penembakan terhadap warga yang berada di lokasi sengketa sehingga mengakibatkan meninggalnya sejumlah warga termasuk balita dan anak-anak. Meskipun kasus tersebut saat ini tengah ditangani pihak Polisi Militer Angkatan Laut, di mana ketiga belas anggota Marinir tersebut tengah menjalani pemeriksaan yang intensif, namun hal tersebut telah menimbulkan trauma di kalangan masyarakat disertai dengan perasaan ketidakpercayaan dan ketidakpastian terhadap hukum dan aturan yang berlaku di negara kita. Seharusnya sengketa-sengketa tersebut melalui pengadilan yang transparan, jujur, dan terbuka. Main hakim sendiri, siapa pun yang melakukannya, termasuk jika dilakukan oleh masyarakat, adalah tindakan yang seharusnya tidak boleh terjadi di negara kita yang menjadikan hukum sebagai panglima.
Kondisi semacam ini seyogyanya menjadi pelajaran yang berharga dalam menata dan membangun kembali pilar-pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif ajaran Islam, esensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah melindungi kepentingan masyarakat menuju pada tiga pilar utama, yaitu: (i) beribadah hanya kepada Allah SWT dengan memiliki akidah yang lurus dan syariat yang benar; (ii) memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara layak, dalam bidang sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan; dan (iii) melindungi mereka dari perasaan takut dan khawatir, baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya, keluarganya, masa depannya, dan juga lingkungan masyarakat. Ketiga hal ini dikemukakan secara implisit dalam firman Allah surat Al-Quraisy ayat 3 dan 4: "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan".
Ketiga hal tersebut hanya mungkin bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat kita apabila didukung oleh kepemimpinan yang kuat, amanah, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kepemimpinan yang demikian ini akan dapat direalisasikan jika para pemimpin negeri ini melaksanakan dua fungsi utama kepemimpinan, yaitu sebagai ulil amri dan khadimul ummah.
Umara atau ulil amri adalah orang yang diberikan amanah dan kepercayaan untuk menangani segala urusan orang lain (masyarakat). Ia bertanggung jawab penuh terhadap segala persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin yang memahami makna ulil amri akan memiliki kesadaran bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama kaum yang lemah.
Karena itulah, ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar ra menyatakan dengan tegas bahwa "aku adalah pemimpin yang berkeinginan orang kuat menjadi lemah di hadapanku dan sebaliknya orang lemah menjadi kuat di hadapanku". Terhadap pemimpin yang demikianlah, Allah SWT menegaskan pentingnya untuk memiliki ketaatan dan loyalitas, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam QS An-Nisa: 59. "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu...". Sebaliknya, tidak ada loyalitas dan ketaatan terhadap pemimpin yang mengkhianati amanah yang telah diberikan Allah kepadanya.
Fungsi kedua yang juga sangat penting adalah fungsi khadimul ummah atau pelayan masyarakat. Pemimpin yang berorientasi pada pelayanan masyarakat akan senantiasa berusaha untuk melakukan berbagai langkah dan upaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepeduliannya terhadap kondisi masyarakat akan tercermin pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Pemimpin yang pro-rakyat inilah yang termasuk ke dalam salah satu kelompok yang akan dilindungi Allah di hari kiamat nanti (al-hadits).
Integrasi konsep ulil amri dan khadimul ummah inilah yang menjadi kunci kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Hukum akan tegak, keadilan akan tercipta, dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Jika para pemimpin negeri ini mau menyadari dan berusaha untuk mengamalkan pola kepemimpinan yang berjalan di atas kedua pilar tersebut, maka penulis berkeyakinan bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan berjalan dengan selaras dan harmonis, sehinga berbagai macam problematika masyarakat yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Wallahu'alam.
(Prof Dr KH Didin Hafidhuddin )
Sabtu, 08 November 2008
DUA PILAR KEPEMIMPINAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar